Breaking News

Geger Tanjab Timur! Pejabat Non-Pendukung Dillah Tanja Diminta Mundur, Pengamat: Rakyat Bisa Jadi Korban


Lintas Jaluko Jambi com-Tanjung Jabung Timur – Isu hangat tengah bergulir di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Sejumlah pejabat dikabarkan diminta mengundurkan diri, menyusul rencana besar perombakan kabinet pemerintahan atau reshuffle. Santer beredar, pejabat yang diminta mundur adalah mereka yang tidak mendukung Dillah Muslimin Tanja pada Pilkada 2024 lalu. Isu ini langsung menyita perhatian publik, dan mendapat sorotan tajam dari pengamat komunikasi politik Jambi, Dedi Saputra.

Dalam wawancara khusus, Dedi Saputra menyatakan, bahwa jika benar pejabat diminta mundur berdasarkan preferensi politik Pilkada, maka ini merupakan preseden buruk bagi iklim birokrasi di Tanjung Jabung Timur.

Ia menilai tindakan tersebut mencederai prinsip meritokrasi, di mana jabatan publik seharusnya ditentukan oleh kompetensi dan kinerja, bukan loyalitas politik semata.

"Jika birokrasi dikelola berdasarkan balas jasa politik, maka akan terjadi erosi profesionalisme di tubuh pemerintahan. Akibatnya, rakyat akan menjadi korban dari sistem pemerintahan yang tidak berbasis pada kualitas, melainkan pada balas budi," kata Dedi Saputra, Senin 28 April 2025.

Menurut Dedi, dalam prinsip komunikasi politik yang sehat, pergantian pejabat seharusnya dilakukan melalui mekanisme yang transparan, berbasis evaluasi objektif terhadap kinerja, serta berorientasi pada pelayanan publik, bukan kepentingan kekuasaan sempit. Isu pengunduran diri karena faktor dukung-mendukung politik justru memperburuk citra pemerintah daerah di mata masyarakat.

"Demokrasi lokal akan rusak jika pejabat publik dipilih atau disingkirkan hanya berdasarkan kesetiaan politik. Padahal, setelah Pilkada selesai, seharusnya semua unsur pemerintahan bersatu bekerja demi kepentingan rakyat, bukan terus menghidupkan polarisasi politik," ungkap Dedi.

Ia juga mengingatkan bahwa situasi ini, jika dibiarkan, dapat memperdalam fragmentasi di tubuh pemerintahan dan memicu resistensi birokrasi terhadap program-program strategis yang dijalankan. Selain itu, Dedi menilai isu ini bisa menggerus kepercayaan publik terhadap janji-janji reformasi birokrasi yang selama ini didengungkan.

"Jika publik menangkap sinyal bahwa jabatan bisa dicopot hanya karena pilihan politik masa lalu, maka kepercayaan terhadap netralitas aparatur sipil negara akan hancur. Ini berbahaya dalam jangka panjang, karena menciptakan ketidakstabilan birokrasi," jelasnya.

Dedi mendesak agar kepala daerah berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait reshuffle atau mutasi pejabat. Ia menyarankan agar evaluasi berbasis kinerja harus menjadi dasar utama, disertai dengan komunikasi terbuka kepada publik untuk menjaga legitimasi dan citra pemerintahan yang profesional.

"Pemimpin yang visioner harus mampu memisahkan urusan politik elektoral dengan kepentingan pemerintahan. Setelah pemilu usai, saatnya semua pihak bekerja bersama untuk membangun daerah, bukan malah melanjutkan konflik politik yang tidak produktif," tandas Dedi Saputra mengakhiri keterangannya.(Feri-red)

© Copyright 2022 - Lintasjalukojambi.com